Sumbu Pendek

Jose Christian
5 min readAug 22, 2020

--

Sumbu pendek adalah suatu hal yang diidentikkan dengan tingkat reaksi seseorang terhadap suatu hal dengan sangat cepat. Satu pukulan dibalas satu pukulan, an eye for an eye. Jika mata dibalas mata, maka dunia akan menjadi buta. Lalu, bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi masalah?

“When you think the problem is out there, that thought is the problem”

Ya, kutipan di atas menampar aku dengan sangat keras saat aku membaca buku 7th Habits of Highly Effective People, karya Stephen R. Covey. Seringkali sesaat setelah kita “dipukul”, kita langsung balas dengan “memukul”. Kita tidak bertanya mengapa aku yang “dipukul”, apakah ada yang salah dengan diriku? Pertanyaan semacam ini bukanlah ditujukan untuk self-hatred, tetapi untuk refleksi diri atau self-talk agar nantinya kita dapat berprogres dalam menghadapi suatu masalah. Dewasa ini, seiring cepatnya perkembangan zaman, masalah-masalah juga semakin banyak. Tentu, suatu solusi diperlukan dalam menyelesaikan masalah. Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa menjadi solusi atas permasalahan saat ini?? Think about the way you think! Apakah kita merupakan sumber dari segala masalah? Tentu, tidak.

Berdasarkan sumbernya, masalah terbagi menjadi 3, yaitu Direct, Indirect, dan No Control. Direct problem merupakan masalah yang berasal dari perilaku diri sendiri, solusinya adalah change our habits. Indirect problem merupakan masalah yang berasal dari perilaku orang lain atau peristiwa yang di luar kendali kita, solusinya adalah change our perspective. Dan yang terakhir, No Control merupakan masalah yang sudah terjadi di masa lalu, solusinya adalah learn from the past. Dari ketiga solusi tersebut, terdapat 1 persamaan, yakni ketiganya berawalan dari kata kerja, yaitu change dan learn, yang artinya meskipun sumber permasalahan tidak hanya berasal dari dalam diri, kita harus mengerjakan apa yang menjadi solusi dari permasalahan yang kita hadapi. Kita yang bisa mengatur paradigma yang kita gunakan dalam menghadapi berbagai masalah.

My wife and my mother-in-law

Contoh sederhananya ketika kita melihat lukisan di atas, mungkin sebagian besar dari kita langsung melihat sosok nenek tua yang berhidung mancung yang mengenakan jaket bulu dan penutup rambut. Ada juga yang melihat sosok wanita muda yang cantik yang sedang menengok ke kanan. Ketika kelompok yang melihat lukisan tersebut bersikeras menyatakan bahwa itu lukisan nenek tua dan kelompok yang melihat sosok wanita muda juga bersikeras akan yang dilihat, maka tidak akan ada titik temu. Di sini kita perlu untuk mengganti paradigma kita untuk memperoleh cara pandang kelompok yang lain. Bukan malah menyatakan kelompok ini benar atau salah, tetapi justru mencoba menggunakan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu hal. Perbedaan paradigma ini kerap kali menjadi suatu masalah dalam suatu diskusi. Konflik akan tetap terjadi selama masih ada pertanyaan “siapa yang benar dan siapa yang salah?”.

Bukan jalanku atau jalanmu, tetapi jalan kita , yaitu jalan yang lebih baik

Bagiku, ada cara yang lebih baik dalam mempermasalahkan suatu masalah, yaitu put the problem on the table, yang artinya kedua pihak meletakkan masalah di atas meja dan fokus akan hal yang ada di atas meja tersebut, tanpa harus menyalahkan salah satu pihak. Dengan cara seperti itu, kita dapat melihat masalah secara utuh, tanpa bayang-bayang siapa yang mengucapkan opini tersebut. Kemudian, apabila kita sudah mendefinisikan masalah, kita akan merancang metode untuk menyelesaikan masalah tersebut, hingga berakhir pada solusi. Penting untuk disadari bahwa dalam perumusan solusi, kita harus sama-sama menurunkan ego kita, bukan jalanku atau jalanmu, tetapi jalan kita, yaitu jalan yang lebih baik. Kesepakatan yang terbangun merupakan suatu komitmen yang perlu dijunjung tinggi oleh kedua pihak.

Lalu, bagaimana kalau salah satu pihak tidak berkomitmen? Ada nih salah satu tools yang membantu kita dalam masalah tersebut, yaitu power audit. Apa itu? Power audit adalah tabel yang memuat skala kita bergantung dengan dia (1 : tidak bergantung dan 10 : sangat bergantung), begitu pula sebaliknya kita memikirkan skala dia bergantung dengan kita(1 : tidak bergantung dan 10 : sangat bergantung). Suatu hubungan dapat bertahan lama apabila nilai dari kedua skala tersebut saling berdekatan. Mengapa? karena kedua pihak benar-benar saling tergantung atau biasa disebut dengan istilah interdependen. Hubungan yang interdependen hanya dapat dicapai jika dan hanya jika kita sudah mampu untuk independen, karena jika kita belum mampu menjadi sosok yang independen, kita hanya mengharapkan peran orang lain dalam membantu hidup kita. Kembali lagi ke kasus di awal paragraf, jika pihak yang tidak berkomitmen memiliki skala “aku bergantung dengan dia” yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala “dia bergantung dengan aku” itu menunjukkan bahwa kemungkinan ada yang salah dengan diri kita. Di saat seperti ini, kita perlu memikirkan kembali mengenai adakah sumbangsih yang sudah aku beri? jika ada, seberapa besar sumbangsih yang aku beri jika dibandingkan dengan dia? jika belum ada sumbangsih yang kita berikan, tanyakan kepada diri kita “apa yang bisa aku berikan agar hubungan kedua pihak bertahan lama dan saling berkomitmen satu sama lain?” . Jika skala “aku bergantung dengan dia” jauh lebih kecil dari skala “dia bergantung dengan aku”, maka kita perlu memikirkan ulang tentang komitmen kita terhadap dia atau bahkan memutuskan komitmen yang telah terbangun selama ini. Tenang, ada ungkapan yang mengatakan “masih banyak ikan di lautan”. Perlu diketahui bahwa penilaian perbandingan skala, jauh lebih besar atau jauh lebih kecil, itu bergantung kepada subjektivitas kita masing-masing, artinya tidak ada ukuran yang pasti yang menyatakan suatu selisih kedua skala itu “jauh lebih kecil” atau “jauh lebih besar”.

Power audit ala kadarnya (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Di dunia yang kian kompetitif, kita lupa untuk bersikap kooperatif

Mungkin sudah ada dari kalian yang bingung, apa hubungannya dengan sumbu pendek? Aku percaya bahwa setiap manusia selalu ingin menang, oleh karena itu manusia yang sumbu pendek cenderung berpikir “apa sih yang bisa gua dapat dari si A, B, C, dan yang lainnya?”. Menurutku, orang yang sumbu pendek cenderung untuk berpikir win-lose. Lalu, apa dampaknya dari berpikir win-lose? Orang di sekeliling kita akan menyadari bahwa tidak ada gunanya berteman dengan orang tersebut karena memang mereka tidak mendapatkan apa-apa dan justru mereka terlalu banyak memberi tanpa menerima. Sebaiknya, kita dalam berteman atau bekerja sama berpikir untuk mencari jalan yang menguntungkan kedua pihak atau yang biasa disebut win-win solution. Dengan demikian, hubungan kedua pihak akan langgeng karena mereka saling tergantung dan saling mengisi satu sama lain.

Setiap orang memiliki rutenya masing-masing dan proses menempuh rute yang berbeda-beda

Predikat menang atau kalah tidak selalu diperoleh dengan membandingkan diri kita dengan orang lain karena setiap orang memiliki rutenya masing-masing dan proses menempuh rute yang berbeda-beda. Starting point yang dimiliki setiap orang juga berbeda-beda, ada yang terlahir di tengah keluarga yang mampu dan ada juga yang tidak. Perbedaan itu seharusnya tidak menghalangi kita dalam berkembang karena yang patut dijadikan tolok ukur menang atau tidaknya diri kita adalah diri kita yang sebelumnya.

Aku mengucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah membaca hingga bagian ini. Dalam menulis tulisan ini, pasti terdapat kesalahan yang aku perbuat. Oleh karena itu, aku memohon maaf atas kesalahan dalam tulisan ini dan aku memohon kritik dan saran terhadap tulisan ini ataupun tulisan-tulisan sebelumnya agar selanjutnya aku dapat menulis dengan lebih baik.

--

--

No responses yet